Saturday, October 31, 2009

seputar filsafat


Dewasa ini filsafat tidak mendapatkan perhatian dan pembahasan yang cukup dari kita semua, untuk itu mudah-mudahan tulisan ini bisa menambah pengetahuan kita tentang filsafat sebagaimana adanya filsafat.
pengantar filsafat

pengantar filsafat

Sebelum membicarakan filsafat ada baiknya kita membicarakan sedikit pengantar tentang cara mendefinisikan suatu perkara. Ini penting karena masih banyak diantara kita salah kaprah dalam menerima arus informasi global. Cara pendefinisian dibagi menjadi dua. Pertama adalah pendefinisian Verbal (lafzhi) dan yang kedua adalah pendefinisian Arti Nyata (Maknawi).

Pendefinisan verbal (lafzhi) adalah cara mendefinisikan dengan maksud menjelaskan pengertian dari kosa kata yang digunakan atau menjelaskan pengertian dari istilah yang digunakan (linguistik).

Sedangkan pendefinisian Arti Nyata (maknawi) adalah cara mendefinisikan dengan mengungkapkan makna sebenarnya (hakekat) dari ke ‘apa’ an sesuatu.

Ketika seseorang bertanya, apakah yang dimaksud dengan ‘merpati’ . Sering kita temui bahwa maksud dari sipenanya dapat berbeda-beda. Adakalanya maksud sipenanya adalah tentang pengertian dari kata (kosa kata) tersebut, yakni merpati itu ‘apa’ dari arti bahasa atau istilah (terminologis). Dan jawaban tentang ke ‘apa’ an merpati ini dapat dijawab dengan bermacam-macam istilah dan definisi per-bidang orang yang ditanyakan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan ‘arti’ yang banyak tentang ke ‘apa’ an merpati dari sisi terminologi. Menurut istilah ahli hewan, merpati adalah sejenis burung yang masuk kedalam katagori unggas, dan akan berbeda lagi definisi ke ‘apa’an merpati ini jika masuk kedalam kamus departemen perhubungan, maka yang disebut dengan merpati adalah sebuah pesawat terbang yang dikelola oleh sebuah maskapai penerbangan yang masuk kedalam katagori pesawat yang berplat merah (Perusahaan pemerintah).

Dalam menjawab pertanyaan semacam itu (tentang kosakata) ada kemungkinan semua jawaban yang di kemukakan adalah benar. Dan disini dibutuhkan kejeli-an dan ketelitian kita untuk mengetahui secara jelas tentang arti dan penggunaan dari kosa kata yang dipakai.

Jika kita akan mengdefinisikan suatu hal atau akan menjelaskan ke ‘apa’ an suatu istilah yang memiliki definisi lebih dari satu, maka kita harus mengatakan bahwa ‘ke apaan’ ini menurut istilah ahli fulan ini artinya ‘ini’ dan menurut istilah ahli fulan itu artinya adalah ‘itu’ . Menjelaskan ke’apa’an sesuatu dengan cara memaparkan pendapat-pendapat dari beberapa ahli-ahli yang berbeda bidang inilah yang disebut dengan pendefinisian verbal.

Tetapi sering juga kita menanyakan ‘ke apa-an’ sesuatu BUKAN bermaksud untuk mempertanyakan arti dari kosa kata yang digunakan melainkan tentang Hakekat (Arti Nyata) dan makna sebenarnya dari susuatu itu. Misalnya ketika kita bertanya, apakah yang disebut dengan ‘Nabi’ , tentu yang kita tanyakan bukanlah tentang arti dari kata nabi diletakkan untuk apa? Karena kita semua sudah tahu bahwa kata nabi diletakkan dan diperuntukkan untuk manusia dengan syarat dan ketentuan yang khusus, bukan kepada yang lainnya semisal kepada tumbuh-tumbuhan atau hewan.

Pertanyaan tentang ‘ hakikat dan substansi’ dari nabi tadi misalnya, jawaban subtansi terhadap ini hanya satu, tidak boleh lebih dan tidak mungkin semua jawaban tentang pertanyaan ini adalah benar. Jawaban untuk menjawab pertanyaan semacam inilah yang disebut dengan pendefinisian Arti Nyata (Maknawi/Hakiki)

Untuk menelaah suatu perkara, maka kedua cara pendefinisian ini haruslah digunakan secara berurutan dan hirarkis. Jika tidak demikian maka akan terjadi bias makna (paralogisme) antara maksud dan tujuan sipenanya dengan hakekat yang sebenarnya. Dalam hal ini mencari arti dari kosa kata yang akan digunakan (pendefinisian Verbal) haruslah lebih didahulukan, setelah jelas dan teliti dalam penggunaan kosa kata tersebut barulah kita bisa mencari tahu makna hakikinya ( Arti Nyatanya) .

Urutan tentang tata cara pendefinisian ini sungguh penting dan strategis dalam mencari dan menggali substansi dari suatu perkara, cara berurutan seperti ini bisa menghindari perselisihan yang tidak perlu. Karena jika tidak demikian maka bisa dibayangkan betapa rumitnya dan repotnya kita mencari tahu tentang arti sebuah ‘kata’ . Jika saja masing-masing pihak mendefinisikan arti ‘kata’ dengan bermacam-macam istilah dan bahasa yang sesuai dengan bidangnya, maka besar kemungkinan orang yang terakhir menemui ‘kata’ tersebut akan lebih banyak berselisih ketimbang mengerti.

Misal, suatu hari orang yang menciptakan istilah ‘keseluruhan’ yang berarti adalah semua dan bukan sebagian ataupun terbagi-bagi. Makna yang sebenarnya tentang ‘keseluruhan’ ini bisa menjadi bias kalau setiap orang mendefinisikannya sesuai dengan bidang dan keahliannya dimasa berikutnya, apalagi jika sudah di terjemahkan kedalam bahasa asing yang beraneka ragam, bisa jadi arti ‘keseluruhan’ akan menjadi sebagian ( yang pertama hilang kata ‘bukan’ -nya) . Jika peneliti berikutnya mengabaikan pentingnya urutan cara pendefinisian, bisa jadi dia tidak akan memperhatikan lagi istilah ‘ keseluruhan’ sebagai acuan dari persoalan yang dihadapi dan langsung menggunakan istilah ’sebagian’ sebagai kata ganti ‘keseluruhan’ . Sehingga orang terakhir yang bukan peneliti dan ahli ketika menemui istilah ‘keseluruhan’ langsung saja beranggapan bahwa ‘keseluruhan’ sama dengan ’sebagian’.

Begitu pula dengan kata ‘filsafat’ , banyak terjadi kekeliruan umum tentangnya diantara para filsuf barat dan para pengikutnya di Timur. Kita bisa mulai bahasan ini dengan kekeliruan awal dan ‘keluwesan’ yang tidak perlu yang di ajukan oleh para filsuf belakangan ini. Keluwesan yang tidak perlu ini berawal dari cara pendefinisian kata ‘filsafat’ itu sendiri.

0 comments:


Free Blogspot Templates by Isnaini Dot Com and Porsche Cars. Powered by Blogger