Para dedengkot classic rock kembali ke panggung.
Rata-rata sulit bertahan tanpa personil yang berkharisma..
Dua-tiga tahun terakhir ini jagat musik rock dunia diramaikan kembali oleh jago-jago tua yang sebelumnya sempat dilansir sudah tutup buku alias pensiun. Walau rata-rata masih sekadar menjual nostalgia kepada penggemar setianya, beberapa grup tetap merilis album baru, laksana pemeo tiga jurus rockers: Rock Never Die! (Rock Tak Pernah Mati). Sebutlah Deep Purple, Santana, Alice Cooper, Scorpions, Motley Crue, Iron Maiden, Aerosmith, Black Sabbath dan Rush. Judas Priest dan Van Halen belakangan malah baru saja mengumumkan reuninya, tentu saja dengan janji segera merilis album terbarunya.
Meskipun demikian, ada juga yang benar-benar tak mampu bertahan. Kalau kebanyakan karakter vokalis
yang menjadi ciri khas sebuah band mampu mengubah formula musik sebuah band, ada juga yang sungguh-sungguh rontok walau masih ada vokalis utamanya. Sebutlah GN’R (Guns N’ Roses) yang personil aslinya tinggal Axl Rose seorang. GN’R memang sempat mereguk keemasan di era hair metal akhir 1980 sampai pertengahan 1990-an. Sayang, personil-personil intinya seperti Slash, Izzy Stradlin, Duff Mc Kagan, Steven Adler sampai Gilby Clarke rontok dalam band yang sering menuai kontroversi ini. Beberapa bertahan dengan membentuk grup baru seperti Slash dengan Slash’s Snakepit atau Izzy Stradlin and The Ju Ju Hounds sementara album terbaru GN’R bertajuk Chinese Democracy tak kunjung dirilis.
Rumor yang berkembang Axl dan personil barunya kurang pede melanjutkan GN’R. Mereka memang pernah tampil di Rock in Rio 2001 sebagai salah satu grup yang paling ditunggu. Tapi, walau Axl berkali-kali menyatakan puas dengan formasi baru GN’R tetap saja album baru GN’R mendekam di studio. Kasus GN’R adalah pembuktian bahwa seorang vokalis sekaligus frontman yang berkharisma toh bukan berarti dapat berjalan tanpa dukungan personil yang solid. Kasus serupa juga dialami RHCP (Red Hot Chili Peppers) yang punya gitaris sekaligus pencipta hit andal, John Frusciante. Tatkala Frusciante hengkang setelah kesuksesan album Blood Sugar Sex Magik (1991), RHCP butuh waktu lama untuk bisa menghasilkan album. Untung hal tersebut masih tertutupi dengan banyaknya konser yang mereka lakukan dan pembuatan single untuk soundtrack film. Tapi, kebangkitan RHCP untuk menghasilkan musik berkualitas baru terasa setelah merilis Californication (1999) dimana Frusciante kembali setelah 6 tahun hengkang dari RHCP.
Genesis, grup rock progresif yang terbentuk sejak Desember 1967 bisa dibilang bernasib nyaris sama dengan GN’R. Walau perseteruannya tak menjadi sengit seperti GN’R, Genesis terbukti tak mampu melanjutkan rodanya. Memang, pada 1998 grup ini sempat merilis album Calling All Stations dengan merekrut vokalis Ray Wilson sebagai pengganti Phil Collins. Album Calling All Stations toh memang tak buruk, apalagi Ray Wilson bukan nama sembarangan di kancah musik rock. Vokalis yang kala direkrut Genesis berumur 28 tahun itu sempat punya band rock alternatif Still Stilstkin yang ngetop di Inggris.
Sayang, meski Ray Wilson bukan nama kosong Genesis seperti tak punya greget lagi hingga tak mungkin dilanjutkan. Bersama Ray Wilson nampaknya sulit melanjutkan Genesis. Apalagi personil lama Genesis seperti Phil Collins, Peter Gabriel, Steve Hackett, Tony Banks, dan Mike Rutherford kadung punya greget sendiri-sendiri di benak fans Genesis. Keputusan merekrut Wilson agaknya sama dengan keputusan Eddie Van Halen merekrut Gary Cherone sebagai pengganti Sammy Hagar. Dengan kata lain, tanpa bermaksud mengecilkan peran Wilson dan Cherone kala bernaung dalam grup besar tersebut, mereka sulit menjadi sosok baru yang mampu menjadi setidaknya kharismatik. Memang menyandingkan mereka dengan Phil Collins dan Sammy Hagar sangat tak mungkin, walau dari segi musikalitas mereka toh juga unggul.
Kalau GN’R dan Genesis beneran rontok, adalah sebuah anugerah bisa berkumpul kembali dalam satu panggung. Tak ada album baru tak apa, yang penting happy. Sebutlah Toto yang baru saja tampil di hadapan publik Jakarta 9 Februari 2004. Toto, grup kondang era 1980-an yang piawai memadukan rock, jazz, pop dan R&B ini tatkala tampil di Indonesia untuk ketiga kalinya menggandeng kembali Bobby Kimball, vokalis utama formasi awal Toto. Walau minus almarhum dramer Jeff Porcaro, penampilan Toto terbilang sukses. Kembalinya Toto di pentas musik sebenarnya sudah digenjot habis-habisan dengan kembalinya Bobby Kimball. Tapi album Mindfield (2001) yang dirilis di kala vokalis bertubuh tambun itu kembali nyaris tak menjadi hit sehingga dalam tiap konser Toto mereka hanya menyanyikan lagu-lagu lama saja.
Penjualan album boleh saja tak bergaung, karena tren sudah berubah. Tapi pamor tak lantas menyurut. Menggamit personil lama jika mampu adalah siasat kembali mereguk popularitas. Apalagi yang menarik dengan menjual nostalgia, di samping karya-karya musik mereka yang memang sudah diakui mencatatkan prestasi dan sejarah musik pop?
Sedangkan Rush, trio progresif rock Kanada bangkit lagi dengan merilis album reuni Ghost Rider (2002). Walau Ghost Rider tak berhasil mendulang kocek, tur-tur mereka di berbagai tempat masih sold-out. Hal demikian masih diikuti Alice Cooper, rocker gaek yang masih ngotot popularitasnya bakal menyaingi grup-grup rock macam Slipknot atau Marilyn Manson. Rocker bernama asli Vincent Furnier ini masih giat melakukan konser dengan merilis album baru Brutal Planet yang menandakan kebangkitannya kembali di jagat musik rock.
Iron Maiden yang juga termasuk dedengkot heavy dan speed metal era 1980-an bareng Judas Priest juga masih aktif setelah kembalinya vokalis utama, Brian Dickinson. Tak hanya Dickinson, gitaris mereka Adrian Smith juga kembali memperkuat grup yang kondang dengan maskot monster Eddie ini. Formasi reuni ini selain masih getol melakukan tur juga menghasilkan album Brave New World (2000) dan Dance of Death (2004).
Deep Purple juga demikian. Walau kibordis flamboyan John Lord tak lagi bergabung dan memilih jadi komponis, grup ini masih menelurkan album Banana (2003) dan baru saja menggelar konser di Indonesia. Sayangnya, minus John Lord yang kini digantikan Don Airey, mantan kibordis Rainbow, dan Ritchie Blackmore yang kini digantikan Steve Morse, mantan gitaris Kansas dan Dixie Dreggs, penampilan Deep Purple di Jakarta, April 2004 lalu terbukti kurang greget, di samping tarikan vokal Ian Gillan yang sudah mengendur.
Personil Baru: Ganti Brand Image atau Cuma Penerus?
Gonta-ganti personil memang sudah lumrah dalam sebuah band. Yang menjadi masalah adalah ketika personil yang keluar sudah menjadi ciri khas atawa brand image band bersangkutan. Menghadapi masalah demikian konsekuensinya hanya satu: berhasil atau gagal. Van Halen, Deep Purple, Black Sabbath, dan Genesis adalah grup yang mampu bertahan serta meraih popularitasnya kembali saat si “anak emas” hengkang. David Lee Roth hengkang setelah Van Halen punya album yang disebut-sebut masterpiecenya, 1984 dengan hit Jump dan Panama.
Dua tahun kemudian Van Halen kembali berkibar setelah Sammy Hagar menjadi vokalis. Setelah itu Van Halen bisa dibilang lebih berhasil karena punya lebih banyak hit yang dikategorikan radio friendly: gampang diingat dan durasinya tidak panjang.
Genesis, yang punya Peter Gabriel, sosok jenius yang kaya dengan ide-ide liarnya memadukan surealis, fairy tale dan musik klasik sebagai pondasi rock progresifnya termasuk beruntung memiliki Phil Collins. Phil Collins yang banyak orang dikenal sebagai orang lama Genesis sebelumnya pernah menggantikan dramer John Mayhew pada 1970 sebelum ia menjadi vokalis Genesis menggantikan Peter Gabriel pada 1975. Lucunya, keputusan Genesis memakai Phil Collins setelah mereka mengaudisi 400 calon vokalis!
Phil Collins sebagai vokalis dan pencipta lagu membuat Genesis menghasilkan sejumlah album yang lembut, riang juga komersil. Tengoklah album Trick of The Tail (1975) berhasil menduduki peringkat ketiga di Inggris dan 31 di Amerika. Seterusnya, seperti Wind and Wuthering, And Then There Were Three, Abacab, Genesis, Invisible Touch dan I Can’t Dance membuat Genesis mampu merengkuh penggemar musik pop yang juga mendengarkan musik macam Duran Duran, Wham! sampai Madonna.
Lain Genesis lain Deep Purple. Grup ini malah saat pertama terbentuk musiknya cenderung rock sesuai zamannya ala The Kinks, Procol Harum atau The Animal yang populer pertengahan 1960-an, bukan hard rock seperti yang dikenang orang sampai sekarang. Adalah Nick Simper dan Rod Evans, basis dan vokalis Purple yang memperkuat grup ini pada 1968. Formasi awal ini walau tak lama mampu menghasilkan hit Hallelujah dan Hush. Baru setelah diperkuat Ian Gillan, mantan vokalis The Javelins dan Roger Glover dari Episode Six grup ini mulai jadi salah satu pionir rock yang diperhitungkan bersanding dengan Led Zeppelin.
Tapi masuknya Ian Gillan toh bukan berarti seterusnya Purple melenggang tanpa masalah gonta-ganti personil. Seperti halnya Lee Roth dari Van Halen, Ian Gillan dan Roger Glover keluar justru setelah mereka punya tiga album masterpiece: Fireball, Machine Head dan In Rock. Untung, ada David Coverdale dan Glenn Hughes yang malah semakin memperkaya eksperimen musik Purple. Bersama Coverdale yang akhirnya membentuk Whitesnake, Purple merilis album yang juga sukses, yaitu Burn, Stormbringer dan album live Made In Europe.
Kendati demikian, Jon Lord, kibordis merasa Deep Purple telah berakhir saat formasi Mark II (Giilan, Glover, Blackmore, Paice dan Lord) bubar. “Rasanya tak pernah seperti dulu,” ungkap Lord walau ia mengakui dengan masuknya Coverdale dan Joe Lynn Turner (album Slaves and Masters, 1990) Deep Purple masih bisa bertahan di kancah musik rock.
Merujuk pengalaman-pengalaman grup besar yang rela bertahan walau ditinggal sang bintang, terbetik pengalaman berharga yang bisa jadi kunci mengapa mereka bisa bertahan. Yaitu, kemampuan untuk berkreasi dan adaptasi sesuai zaman.
David Coverdale justru lulus audisi menggantikan Gillan setelah Purple mengaudisi lebih dari sejumlah pelamar yang semuanya rata-rata meniru warna vokal Ian Gillan! Memang setelah Coverdale, Purple lagi-lagi ditinggal Gillan dan digantikan Joe Lynn Turner eks Rainbow dan Yngwie Malmsteen Band. Tapi bersama Lynn Turner yang kini aktif bersolo karir, musik Purple memang unggul secara musikalitas. Tapi, mirip Genesis yang digantikan Ray Wilson dan Gary Cherone yang menggantikan Sammy di Van Halen, Turner juga memble dari kemampuan meraih greget.
Black Sabbath sempat bertahan dengan masuknya Ronnie James Dio setelah frontman kharismatik mereka, Ozzy Osbourne hengkang dan bersolo karier. Setelah Ronnie Dio hengkang, grup yang punya jagoan gitar Tommy Iommi ini relatif tak gentar dengan melakukan metamorfosis dalam warna musiknya. Vokalis Ian Gillan bahkan pernah memperkuat formasi Black Sabbath. Kini, Ozzy bergabung kembali dengan Black Sabbath walau hanya sebatas reuni di panggung saja bukan untuk menghasilkan album rekaman baru.
Begitu pula Rainbow, grup asuhan Ritchie Blackmore setelah mundur dari Deep Purple yang pernah diisi tiga vokalis yang suaranya sangat berkarakter seperti Ronnie James Dio, Graham Bonnet dan Joe Lynn Turner. Rainbow cenderung bermetamorfosis lebih baik secara musikalitas dengan menelisik selera populer tanpa meninggalkan aroma hard rock yang kental sehingga tak tergantung warna vokalis utama.
Motley Crue, grup metal yang lebih banyak menuai kontroversi di samping kesuksesan album-albumnya juga mengalami pergantian vokalis yang sayangnya tak mampu mengubah mereka untuk bermetamorfosis lebih baik. Adalah John Corabi yang menggantikan Vince Neil. Corabi hanya mampu memperkuat Motley di satu album saja yaitu, Motley Crue (1992). Padahal dengan dirilisnya album ini diharapkan menjadi titik tolak untuk mengawali lembaran baru karier mereka pasca Vince Neil. Tapi ternyata sulit, selain musik mereka kurang berkembang Motley Crue benar-benar nyaris ambruk dengan gosip dan berita sensasional yang sering dibuat dramer Tommy Lee lebih bergaung di media massa ketimbang album musik yang mereka buat.
Nampaknya kesuksesan besar-besaran album Dr. Feelgood (1989) yang punya segudang hits setelah Girls, Girls, Girls (1986) bisa dibilang sebagai sukses yang sulit diulang kembali. Memang Vince Neil kembali memperkuat Motley Crue setelah solo kariernya menghasilkan album Exposed (1995). Sebagai gantinya giliran Tommy Lee yang hengkang. Posisinya digantikan Samantha Maloney, mantan dramer Hole, grup rock pimpinan Courtney Love, janda mendiang dedengkot Nirvana, Kurt Cobain. Formasi ini menghasilkan album New Tattoo (2001) yang juga diikuti tur ‘come back’ mereka di pentas rock.
Iron Maiden, grup heavy metal yang terbentuk sejak 1975 sejak ditinggalkan vokalis Bruce Dickinson diperkuat oleh Blaze Bailey, mantan vokalis Wolfsbane. Kendati warna vokalnya memang beda dengan Bruce Dickinson, Iron Maiden tak gentar ditinggalkan fans dengan merekam dua album yaitu The X-Factor (1995) dan Virtual XI (1998). Tahun 2000 Bruce Dickinson yang lumayan sukses bersolo karier ini kembali lagi di Iron Maiden dengan menghasilkan album Brave New World (2000) dan Dance of Death (2004).
Toto malah termasuk grup yang selain sering gonta-ganti personil terbilang paling sering pula berganti vokalis setelah ditinggalkan Bobby Kimball. Uniknya, tiap musik Toto tak bergantung pada karakter vokalis tertentu sehingga rata-rata warna vokalis satu dengan lainnya cenderung sama di samping kecerdasan mereka memadukan jazz, rock, pop dan R&B. Kegoncangan Toto malah lebih terasa tatkala Jeff Procaro, dramer sekaligus pendiri mereka meninggal dunia.
Maklum, grup ini selain lagu-lagunya merajai top chart, unsur perkusifnya sangat kuat dimainkan Porcaro. Maka, menyimak tiap lagu dalam album-albumnya tugas penyanyi bisa saja digantikan gitaris Steve Lukhater dan kibordis David Paich di samping punya vokalis utama yang nyaris berganti dalam tiap album baru Toto seperti David Hungate, Fergie Frederikssen, Joseph Williams dan Jean-Michel Byron. Mungkin karena grup ini cenderung sering bergonta-ganti vokalis, jika berkunjung ke web site resmi Toto ada survey jajak pendapat untuk penggemar siapa vokalis favorit dengan menempatkan nama-nama vokalis tersebut.
Suara Mirip: Tak Mampu Bermetaformosis?
Menjadi personil baru dalam sebuah grup besar memang tak mudah. Konsekuensi untuk mengubah warna musik tak bisa dihindari dengan risiko berhasil atau malah gagal. Kalau Deep Purple, Iron Maiden, Rainbow, Van Halen, Black Sabbath, Motley Crue, dan Genesis terbilang berani memasukkan personil baru dengan harapan bakal meraih penggemar baru di samping kreativitas mereka tertantang untuk membuat musik, AC/DC dan Judas Priest adalah dua grup yang terbilang tak berani untuk bermetamorfosis akibat pesona kharismatik sang vokalis, entah itu dari karakter vokal dan penampilan.
Semisal Judas Priest yang sempat ditinggalkan Rob Halford, frontman kharismatik yang kemudian membentuk Fight. Penggantinya adalah Tim Owens, vokalis dari grup British Steel, grup tribute dan cover version Judas Priest. Tatkala video penampilan Owens sampai di tangan manajemen Judas Priest, mereka langsung memanggilnya sebagai pengganti Rob Halford. Adapun Tim Owens direkrut lantaran warna vokalnya menyamai Rob Halford. Bersama Owens, Judas Priest merilis 2 album yaitu Jugulator dan Demolition. Nasib mujur nampaknya menyelimuti Judas Priest pasca Halford. Mereka sempat endapat nominasi Grammy Award kategori grup heavy metal terbaik. Nampaknya roda rock n’roll mereka terselamatkan dengan kehadiran Owens yang kemudian mengganti namanya menjadi Ripper Owens. (Ripper diambil dari salah satu hit Judas Priest, The Ripper).
Owens yang memang terlahir sebagai imitator Halford menurut wartawan hiburan Dan Knapp dari CantonRep menyebutnya “Cinderella Story”. Setelah sekian lama menyanyikan lagu idola, Owens didaulat menjadi frontman grup idolanya. Bahkan ketika Rob Halford memutuskan kembali bergabung, Owens mengaku ia juga punya andil untuk mengembalikan Halford. “Halford idola saya, ia pantas kembali,” katanya kepada Dan Knapp. Kini, Owens membentuk band sendiri bernama Iced Earth dengan konsep heavy metal 80-an dan punya album The Glorious Burden yang diedarkan secara indie label.
AC/DC merekrut vokalis Brian Johnson sebagai pengganti almarhum Bon Scott. Kedua band ini, AC/DC dan Judas Priest kariernya terselamatkan dengan menggandeng vokalis dengan suara yang sama dengan pendahulunya. Nasib serupa juga dialami Survivor, grup yang kondang berkat soundtrack film Rocky III-nya Sylvester Stallone. Vokalis utamanya David Brickler digantikan Jimi Jamisson yang terus memperkuat Survivor sampai tutup buku tahun 1990 dengan merilis album terakhir When The Second’s Cut (1988) dan Greatest Hits (1990).
Masih vokalis yang warna vokalnya kebetulan mirip, ada Saigon Kick yang untung punya Jason Bieler, gitaris yang kebetulan pasang badan jadi vokalis menggantikan Matt Kramer. Grup yang punya hit kondang Love is On The Way dan I Love You ini kebetulan warna suara gitarisnya tak beda dengan Matt Kramer. Selain Saigon Kick, ada Anthrax, biang trash metal yang punya vokalis John Bush menggantikan Joe Belladonna.
Ambil Royalti Saja
Led Zeppelin yang tetap enggan tampil bersama setelah dramer sekaligus pendirinya John Bonham tewas, para personilnya memilih meraup royalti saja. Tewasnya personil kharismatik setelah gitaris Jimmy Page ini mengakibatkan mereka tak rela manggung bersama dengan nama Led Zeppelin. Memang sempat terbentuk ihwal reuni mereka, tapi selalu gagal lantaran basisnya John Paul Jones urung bergabung.
Walau demikian Jimmy Page dan vokalis Robert Plant sempat bergabung tanpa nama Zeppelin. Mereka pernah menghasilkan album eksperimental No Quarter Unledded (1994) yang beberapa diantaranya memainkan hit-hit lama Zeppelin yang dipadukan dengan eksperimen musik Timur, di samping beberapa solo album Jimmy Page menggunakan vokal Robert Plant di beberapa lagu.
Tahun 2002 Jimmy Page yang masih menyimpan rapih pelbagai dokumentasi rekaman dan video konser Zeppelin merilis dobel konser dvd Zeppelin dan album kompilasi seperti BBC Sessions, Box Set, dan Remasters. Zeppelin boleh saja tutup buku, tapi bukan berarti sisa kejayaan mereka tak mampu dijual. Hal serupa juga dialami Queen yang jelas sulit dilanjutkan lagi tanpa lantunan mendiang vokalis Freddy Mercury. Yes dan Aerosmith juga mengalami nasib serupa dengan lebih sering merilis album kompilasi dan live saja di samping masih rajin melakukan konser.
Selanjutnya memang terserah fans di samping ketahanan masing-masing personilnya menyesuaikan diri dengan tren dan warna musik. Semuanya tinggal pilih tetap berjalan atau ambil royalti saja ketika umur semakin merambat dan tren sudah berganti. Yes, Aerosmith, Toto, dan Rolling Stones termasuk grup yang tak begitu ngoyo membuat album baru. Kibordis Yes, Rick Wakeman juga kembali memperkuat formasi Yes di berbagai tur. Tampil depan publik bagi Yes, Aerosmith, Rolling Stones, Toto dan Rush toh sudah cukup sebagai nostalgia masa tenar mereka. Yeah, yang penting Rock Never Die, Bung!*
ditulis Maret 2003
Talisman, Rocker Tanpa Mahkota
Rocker asal Swedia pasca Europe dan Yngwie Malmsteen.
Melesat dengan ilmu padi.
Di Indonesia nama Talisman mungkin tak seakrab Bon Jovi atau Metallica. Maklum, grup asal Swedia ini mengedarkan albumnya lewat jalur independen label.Walau tak sekondang Bon Jovi, Guns N’ Roses dan Metallica, Talisman dimotori para session player yang sudah cukup lama mengenyam dunia rock n’ roll.
Talisman didirikan oleh Marcel Jacob, mantan pencabik bas Yngwie Malmsteen (album Trilogy, 1986) dan John Norum, gitaris Europe yang sukses bersolo karier.
Grup beraliran hard rock ini didukung Goran Edman, mantan vokalis Yngwie Malmsteen dan vokalis John Norum band, Jeff Scott Soto yang juga pernah menjadi vokalis Yngwie Malmsteen dan Axel Rudi Pell, kibordis Mats Olausson yang juga mantan kibordis Yngwie, gitaris Jason Bieler dari Saigon Kick dan gitaris Christopher Stahl. Selain menulis lagu, Marcel juga bertindak sekaligus sebagai dramer, basis, kibordis dan gitaris untuk sesi rekaman. Untuk sesi panggung dan rekaman selanjutnya ia merekrut Christopher Stahl, Fredrik Akesson (gitar) dan Jamie Borger (dram).
Uniknya, grup yang dibentuk Marcel ini pada awalnya tak sungguh-sungguh dibentuk. Seperti kisah-kisah klasik yang mengawali terbentuknya sebuah band, konon, beberapa lagu ciptaan Marcel Jacob ditolak tatkala ia menyumbangkan karyanya untuk album John Norum. Marcel yang kala itu adalah pemain bas dan kibord menyimpan demo-demo yang ditolak tersebut hingga suatu saat ia merekamnya dalam proyek musik lain yang dinamainya Talisman. Tahun 1990 debut album Talisman dirilis. Debut album ini mendapat sambutan positif di Swedia dengan terjual sebanyak 28.000 kopi hanya dalam waktu sebulan. Album yang direkam di Airplay, label indie sangat beda dengan musik-musik yang pernah dimainkan Marcel semasa di Yngwie Malmsteen atau John Norum yang progresif. Lagu-lagu Talisman terbilang sangat ngepop semisal Just Between Us atau I’ll Be Waiting, dua hits yang menghantarkan Talisman di top chart Swedia dan Eropa.
Kesukesan ini membuat Marcel bersemangat untuk melanjutkan Talisman. Sayangnya label Airplay yang merekam debut album mereka bangkrut sehingga ia tak bisa melanjutkan proses rekaman album kedua Talisman. Walau rekaman album kedua band “dadakan” ini mandeg, tak disangka major label Warner Music tertarik untuk mengontrak Talisman selama 2 tahun. Tapi karena band ini “dadakan”, kendati sudah terikat kontrak dengan Warner Music, album kedua Talisman tak kunjung selesai. Maklum, kesibukan Marcel di John Norum sangat padat di samping vokalisnya, Goran Edman juga vokalis John Norum. Bersama Edman, Talisman hanya merekam dua single yaitu Day by Day dan Lightning Strikes. Untuk selanjutnya, Marcel merekrut Jeff Scott Soto, vokalis langganan gitaris kondang Swedia, Yngwie Malmsteen dan Axel Rudi Pell, gitaris Jerman. Album-album Talisman selanjutnya diproduksi label Empire Records.
Dari Garang ke Manis
Soto sendiri semula heran dengan konsep musik Talisman yang kelewat manis itu. Maklum, vokalis bersuara berat dan lantang ini biasa menyanyikan lagu-lagu bertempo heavy metal. Lengkingan vokalnya yang lantang bak lengkingan Bruce Dickinson di Iron Maiden dapat dinikmati di dua album Yngwie Malmsteen, Rising Force (1984) dan Rising Force Marching Out (1985). Kalau ada polling fans Yngwie Malmsteen, nama Soto selalu terpilih sebagai satu dari vokalis terbaik yang pas dengan kecepatan melodinya. Padahal sesudah Soto masih ada Joe Lynn Turner, ex vokalis Rainbow dan Deep Purple dan Mike Vescera, ex vokalis grup metal Jepang rasa Amerika, Loudness.
Kendati demikian Soto menerima juga tawaran Marcel sebagai tantangan kreatif setelah sekian lama menyanyikan musik-musik bertempo cepat. Bersama Soto, dan session player lain seperti Jason Bieler dan Matts Olausson, Talisman merilis album Talisman (1990), Genesis (1993), Five Out Five (1993), Humanimal part I & II (1994), Life (1995) dan The Best of (1996).
Menyimak album Talisman kita bakal terheran-heran mendengar suara Soto yang biasanya lantang bisa juga menyanyikan lagu-lagu hard rock yang manis, pop dan melodius ala Bon Jovi. Talisman memang grup hard rock yang unik. Walau personilnya kebanyakan berasal dari grup beraliran heavy metal, musiknya cenderung ringan dan sangat komersil. Singkatnya, musik-musik Talisman mampu menelisik antara musik heavy metal yang berat dan selera populer tanpa mengorbankan idealisme rocknya.
Marcel Jacob dan Jeff Scott Soto yang semula hanya orang di balik layar kesuksesan Yngwie Malmsteen, John Norum dan Axel Rudi Pell kepada wartawan Jorgen Holmstedt menyebut musik Talisman sebagai perpaduan Queen dan Led Zeppelin. Swedia memang dikenal sebagai negara pengekspor musisi berkelas seperti kwartet pop ABBA di tahun 1980-an, Roxette dan Ace of Base di awal 1990-an. Di jalur rock Swedia menyumbangkan Europe (yang juga manis) dan Yngwie Malmsteen, pencetus neo-classical rock (perkawinan musik klasik dan rock) yang melaju dalam kecepatan jari-jarinya memetik gitar. Meski bukan superstar dikarenakan tetap kukuh di jalur indie label (di samping Talisman sendiri memang “grup dadakan”) , mereka tetap layak dikenang sebagai grup musik potensial Swedia di jalur rock pasca Europe dan Yngwie Malmsteen. Padahal bisa saja dengan formula musik macam begini mereka pindah ke label yang lebih besar atau hijrah ke Amerika laiknya ABBA dan Roxette “bertarung” menjadi superstar di industri musik.
Ya, Talisman adalah grup mainan Marcel Jacob yang mampu melejit tanpa kemahkotaan superstar. Marcel sendiri mengaku membentuk grup ini bukan untuk mereguk popularitas, melainkan hanya pembuktian dirinya sebagai musisi setelah cukup lama menjadi session player.
Yngwie Malmsteen dan John Norum bahkan menyambut gembira kehadiran Talisman yang diam-diam merebut simpati pecinta musik rock di dataran Eropa dan Jepang. Jason Bieler, gitaris dan konseptor Saigon Kick bahkan pernah ikut tur bareng mereka di awal terbentuknya Talisman, di samping ia sendiri bersedia jadi session player di tiga lagu mereka, Time After Time, Give Me A Sign dan Comin’ Home.
Dalam album Life kita bakal terhenyak mendengar Crazy, hit kondang dari Seal yang dibuat bertempo rock, I’ll be Waiting yang manis atau lagu Colour of My XTC (album Humanimal) yang funky dengan menampilkan rap yang dilantunkan Soto! Sebagai grup dadakan yang dibentuk tak sengaja Talisman memang unik karena berhasil menampilkan sisi lain rocker-rocker “garang” yang bisa juga tampil “manis”.
Produktivitas mereka dilanjutkan dengan album Five Out Five, album live mereka selama berkonser di Jepang dan album Humanimal. Album Humanimal yang dirilis tahun 1994 ini terdapat 30 lagu oleh label Empire akhirnya dipecah menjadi 2 bagian (Humanimal I & II) yang diedarkan terpisah.
Tahun 1996 Talisman membubarkan diri dengan merilis album terakhir The Best of. Album kompilasi ini menampilkan 5 lagu Talisman yang belum pernah dirilis, yaitu Day by Day dan Lightning Strikes (dinyanyikan Goran Edman), Time After Time, Give Me A Sign dan Comin’ Home yang gitarnya dimainkan Jason Bieler.
Bubarnya Talisman sendiri juga nyaris tanpa konflik karena toh grup ini memang dibentuk sebagai kesenangan. Bak ilmu padi, semakin besar semakin merunduk, keputusan membubarkan Talisman justru ketika karirnya sedang memuncak oleh Marcel dirasa lebih tepat ketimbang karena tak mampu mengikuti tren atau kejenuhan personilnya. Keputusan Marcel ini mirip dengan yang dilakukan The Police dan duet George Michael/Andrew Ridgeley di Wham!, yaitu bubar ketika popularitasnya tengah melesat.
“Mungkin saya salah kalau bubarnya Talisman berarti tak bisa bermain bersama lagi. Sampai sekarang saya masih tetap menyukai lagu-lagu Talisman apalagi dia adalah bagian dari diri saya yang lain secara musikal. Sejujurnya saya bangga dan menikmati apa yang sudah Talisman lakukan selama 8 tahun tanpa terpengaruh tren musik dan selera pasar,” jelasnya. Ah!*
doro2020.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment